Jumat, 09 Mei 2008 | By: Sang Pena Muda

Isu Kemerdekaan dalam Kesusastraan

Isu Kemerdekaan dalam Kesusastraan

Isu kemerdekaan acapkali didengungkan di dalam sejumlah karya sastra besar sebagai pondasi cita-cita, meski imajiner. Adalah hak asasi manusia yang paling krusial, kemerdekaan diidentikkan dengan istilah kebebasan, otonomi, serta kedaulatan. Karenanya, isu ini secara luarbiasa menganut interpretasi individualistik yang menyita banyak perhatian dan pemahaman. Telah banyak kajian atas karya-karya sastra bertaraf nasional maupun internasional yang menggusung tema-tema perjuangan personal atau komunal dalam upaya memperoleh kemerdekaan bersikap, bertutur, berpikir, maupun berkeyakinan. Wilayah kajiannya secara universal mengupas tuntas dari A sampai Z tentang latar belakang sosio-historis dan kultur si penulis dan/atau si karakter untuk mendalami lebih jauh problematika keduanya dalam menegaskan ke-ada-annya (being). Subjek-subjek seperti penduduk asli benua Amerika, Kulit Hitam, dan kaum perempuan merupakan sasaran empuk untuk menandai esensialitas isu kemerdekaan dalam kesusastraan Amerika, khususnya. Mengkaji kesusastraan Amerika takkan pernah lepas dari sejarah “berdirinya” Amerika yang hingga kini disebut-sebut sebagai kiblatnya sudut pandang dunia (world point of view). Selama ekspansi Barat pada pertengahan dan akhir 1800-an, kemerdekaan penduduk asli benua Amerika—Indian—dirampas. Sebagai peletak batu pertama di benua Amerika, orang-orang Indian meyakini bahwa Amerika adalah tanah leluhur mereka tempat kedaulatan atas segala hal yang menyangkut hidup-mati mereka ada sepenuhnya di tangan mereka. Namun, dengan kedatangan kapal-kapal Kulit Putih dan kroni-kroninya, hidup mereka tidak lagi mengabdi untuk mewujudkan harapan mereka dan melestarikan kebudayaan leluhur mereka, alih-alih mereka menjadi budak Barat. Asumsi Eropasentris, bahwa penduduk kulit berwarna adalah komunitas yang tidak beradab dan kaum barbar, dijadikan sebagai senjata ampuh untuk menjajah hak asasi mereka.

Karya-karya sastra(wan) Native American seperti Almanac of the Dead-nya Leslie Marmon Silko, Power-nya Linda Hogan, dan Dark River-nya Louis Owens mendemonstrasikan kesewenang-wenangan Kulit Putih atas ketakberdayaan Kulit Berwarna.

Lebih jauh lagi, setelah benua Amerika berevolusi menjadi sebuah benua impian, serangkaian perjuangan untuk mencecap manisnya kemerdekaan diwariskan kepada para imigran yang ingin mengadu nasib mereka di Amerika. Iming-iming akan kesejahteraan, kesetaraan, dan kesempurnaan hidup “mengundang” para imigran ke Amerika untuk berduyun-duyun mengubah status dan imej sosial mereka. Hingga lahirlah generasi-generasi peranakan Afrika-Amerika, misalnya, yang diharapkan mampu merealisasikan iming-iming tersebut. Sayangnya, sejarah berkata lain. Sekali lagi, kedaulatan personal diruntuhkan oleh penghakiman berbasis rasial.

Sejarah masa lalu Kulit Hitam sebagai “generasi budak” menjadi suatu penghalang dalam upaya mensejajarkan kemerdekaan mereka dengan kemerdekaan Kulit Putih di segala aspek kehidupan. Booker T. Washington, dalam bukunya Up from Slavery yang mengisahkan pengalaman pribadinya sebagai seorang budak $yang selalu dipandang sebelah mata oleh Kulit Putih, menegaskan bahwa Kulit Hitam saat ini harus bertekad kuat memperjuangkan kemerdekaan mereka. Kemudian, dalam kesempatan lain, Langston Hughes juga mencoba menunjukkan betapa kesetaraan kesempatan dan hak Kulit Hitam masih dicurangi pada zaman modern ini, meski tak dapat dipungkiri bahwa mereka juga ikut berjasa dalam keberhasilan Amerika menyandang predikat sebagai negara adikuasa. Puisinya yang berasa optimistik, “I, Too”, menggembor-gemborkan bagaimana Kulit Hitam suatu saat akan mampu duduk sama rendah

dan berdiri sama tinggi dengan kolega-kolega Kulit Putihnya:

Tomorrow, I’ll sit at the table

When company comes

I too, am America.

Tak kalah radikalnya, Zora Neale Hurston, penulis wanita Afrika-Amerika, dalam salah satu karyanya yang masyhur—How It Feels to Be Colored Me—menyuarakan eksistensinya sebagai suatu fragmen dalam “Satu Jiwa Besar”, negaranya, yang akan selalu ikut andil dalam setiap gerak pembangunan. Benar atau salah, Amerika adalah tetap tanah airnya.

Tidak seperti penjajahan secara fisik yang dirasakan oleh Indian dan Kulit Putih, kaum perempuan adalah korban penjajahan secara emosional. Dalam kitab suci atau norma-norma sosial, kaum perempuan dieksekusi kebebasannya dengan tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk berkarya dan bersuara. Kalaupun ada yang memberanikan diri untuk mengemuka, ia dinilai sebagai pemberontak. Penulis besar seperti Kate Chopin merefleksikan isu kemerdekaan perempuan itu dalam karyanya The Awakening. Lewat karakternya, Edna, ia berusaha untuk menumbangkan seluruh ekspektasi sosial kaum perempuan dalam ruang hidupnya. Edna ingin merasa merdeka atas keluarganya, tanggung jawabnya, dan kehidupan yang ia jalani.

Secara bersamaan, peta Indonesia yang menganut pluralisme juga tak ayal bersinggungan tanpa lelah dengan isu kemerdekaan yang menjadi subject matter dalam pembahasan konflik multikultur dan masalah gender. Sejumlah penulis kondang Indonesia seperti Toety Heraty, Putu Wijaya, Remi Sylado, dan Pramoedya Ananta Toer tak putus-putusnya mengangkat esensi kemerdekaan ke permukaan. Yang terakhir, tetralogi novel yang dipublikasikannya sangatlah kental aroma postkolonialnya. Setting masa peperangan melawan penjajah, emansipasi wanita, dan perjuangan komunitas nonpribumi untuk survive di iklim kedaerahan Indonesia yang telah mengurat-akar, kesemuanya dijadikan sebagai ujung pena dalam menuliskan makna “‘tinggi” kemerdekaan lewat karya sastra.

Isu kemerdekaan dalam kesusastraan tidak akan pernah hanya mengantongi satu arti, sebab penulis—sebagai makhluk individual—memiliki keyakinan personal yang membentuk kepribadian dan kematangan dirinya. Di lain sisi, sebagai makhluk sosial, ia mau tidak mau harus berkubang dalam norma-norma yang mengelilinginya. Meski tak sehati, norma-norma itu menjejakkan pemahaman dan pengertian khusus dalam pembacaan mata-sosialnya. Intisari individualitas kemerdekaan yang dituangkan dalam buah karya setiap penulis merupakan reaksi emosinal dari pembacaan kontemplatif menyangkut lelakon hidup mereka dan realitas di sekeliling mereka.

*) Fati Soewandi, penyair dan esais, tinggal di Surabaya

Sumber: Cybersastra

UNTUKMU … ANAK NEGERI!

RUU APP BUKAN untuk menyeragamkan budaya,

BUKAN untuk menyeragamkan dalam berpakaian,

BUKAN untuk memaksakan aturan suatu agama.

RUU APP dapat mengangkat suatu kaum/suku yang masih berpakaian / pola hidup

yang tertinggal, dan BUKAN untuk menangkapnya. Kenapa ?

Karena mereka bukan dengan sengaja mempertontonkannya.

Tapi ini merupakan tugas kita untuk menjadikan mereka

lebih beradab dalam era globalisasi ini.

RUU APP ini justru untuk mendefinisikan Pornografi dan Pornoaksi,

karena TIDAK ADA satupun UU yang jelas mendefinisikan pornografi.

RUU APP ini hanya meminta warga negaranya berpakaian secara sopan,

TIDAK untuk memancing birahi lawan jenisnya (baik laki-laki dan perempuan),

TIDAK ada pemaksaan untuk berpakaian model Islami/Arab/Taliban.

RUU APP melindungi kaum perempuan Indonesia dari

pihak-pihak yang justru merendahkan kaum perempuan

dengan dijadikan objek yang laku dijual demi kaum laki-laki hidung belang.

RUU APP melindungi moral anak-anak kita dari bahaya pornografi

demi membangun masa depan bangsa dengan keilmuannya

bukan dengan mempertontonkan tubuhnya atau bahkan melacurkan dirinya.

Janganlah kalian EGOIS karena saat ini

kalian dapat menikmati keindahan tubuh perempuan.

Janganlah kalian EGOIS karena saat ini banyak job order

untuk tampil dan terkenal dengan mempertontonkan tubuh kalian.

Janganlah kalian mengeruk profit dari mempertontonkan tubuh perempuan

yang justru menghinakan/merendahkan kaum perempuan.

Lihatlah masa depan bangsa…

lihatlah masa depan anak-anak bangsa yang masih lucu,

lugu dan mereka sedang giat belajar.

Jangan ganggu dan usik mereka oleh media pornografi.

Jangan hinakan harga diri mereka karena

ibunya/ayahnya mempertontonkan keindahan tubuhnya.

Selamatkan anak-anak kita dari bahaya pornografi !

Kamis, 08 Mei 2008 | By: Sang Pena Muda

Bajuku Sayang Bajuku Malang

“Jangan!!! Tidak… Tolooong!!!”

“Bret… bret…!”

Sebuah tanktop cokelat muda dirobek secara paksa. Sobekan-sobekannya berserakan di lantai marmer.

Penghuni lemari biru sangat terkejut mendengar jeritan itu. Teriakan itu sangat mereka kenal. Boni! Tak salah lagi. Itu asalah pekikan Boni.

Tapi mengapa? Kenapa? Siapa yang menganiaya Boni? Pakaian dalam lemari biru hanya bisa menebak-nebak. Merka tak tahu jawaban pasti dari pertanyaan yang mereka hadirkan sendiri.

Malam semakin gencar menawarkan kebisuannya. Cahaya perhiasan langit menerobos sela-sela jendela kamar Susan. Gadis itu entah di mana kini. Ruangan tempatnya beristirahat dibiarkan gelap.

Boni adalah salah satu koleksi yang paling disukai Susan. Entah bagaimana reaksinya jika ia tahu Boni tercerai-berai berserakan.

………………..***………………..

“Aaa…”

“Mamiii… Bi Sutiii…,” teriakan Susan membahana. Gadis itu menemukan tanktop

cokelatnya merana di lantai.

“Ada apa, Neng?” ujar Bi Suti tergopoh-gopoh.

“Nih, lihat…! Siapa yang berani-beraninya merobek baju ini?” Susan menunjukkan belahan-belahan tanktop-nya.

“Ng…nggak tahu, Neng.”

“Nggak tahu gimana? Bibi kan, di rumah terus, masa nggak tahu siapa yang masuk ke kamar ini?”

Bi Suti menunduk ketakutan. Susan kalau sudah marah, galaknya minta ampun.

“Ada apa sih, ribut-ribut?” Mami dating menenangkan suasana. Di belakangnya, bersembunyi bocah kecil sepuluh tahnu.

“Ini Mi, ada yang iseng ngerusak baju Susan.”

Mami mengamati sekilas benda yang ditunjukkan ole anak tunggalnya, “Digigit tikus kali, Nak.”

Ih, Mami gimana, sih? Masa di rumah sebagus kita ini ada tikusnya?” protes Susan.

“Ya sudah kalau begitu…nanti Mami ganti, deh. Sudah jangan ribut lagi, ya! Ujar Mami.

Keramaian lalu berakhir. Sepi kembali bertandang tanpa diundang. Kasak-kusuk kini beralih ke lemari biru Susan. Lemari dua pintu dari kayu nomor satu berwarna biru. Pintu pertama terdiri dari tiga rak yang diisi dengan pakaian sehari-hari Susan, sedangkan pinti kadua, didiami oleh koleksi-koleksi pilihan Susan. Mereka bergantungan dengan bantuan hanger. Dari sanalah kini keramaian tercipta.

“Tuh, kalian denger nggak ucapan Susan tadi? Dia marah besar,”ujar babydoll merah jambu yang biasa dipanggil Pinky.

“Iya, denger. Nah, sekarang yang jadi pertanyaan… siapa pelaku kejahatan itu? Kalau menurut analisaku, tidak ada satu pun penghuni rumah ini yang memiliki motif untuk melenyapkan Boni. Bi Suti, kecil kemungkinannya. Dia sudah lama bekerja di sini. Mami juga rasanya tak pantas untuk dicurigai. Masa sih, tega-teganya ngerusak barang anak sendiri. Papi apalagi. Sedangkan Parto dan Udin, apa urusannya. Parto sibuk nyupir, Udin selalu di kebun. Siapa lagi coba yang bisa jadi tertuduh?” Nyet-nyet, kaos abu-abu yang berganbar monyet mengurai analisanya.

“Kalau anak kecil itu, gimana?” Pinky bersuara lagi, “dia juga punya peluang meskipun masih kecil.”

Nyet-nyet berpikir sebentar,”Rasanya, kok mustahil dia bisa melakukan hal seperti itu. Dia baru dua hari berada di sini. Gadis kecil itu kalau nggak salah… namanya Dita. Ia dititipkan sementara di sini akrena keluarganya baru terkena musibah.

“Musibah?! Musibah apaan?!”

“Mana kutahu?! Banjir, kali!”

“Eh, ssst …ssst …ada yang datang!” Twingkel si Gaun Asimetris memperingatkan.

Benar saja, sesorang membuka pitu dan menuju lemari biru. Ternyata, …Susan! Ia meraih kaos ketat belang hitam putih. Sebagai padanannya, Susan memilih jins warna hitam.

“Kawan-kawan …,aku pergi dulu, ya? Daaagh…,” ujar kaos yang biasa dipanggil Belli itu.

“Dagh…,” balas yang lain.

“Hati-hati Bel, met senang-senang.”

Tak lama kemudian, Belli sudah melekat di badan langsing Susan, dan siap menemani ke mana pun gadis itu pergi.

………………..***………………..

“Aaaah …yang bener? Masa, sih?”

“Benar, buat apa aku bohong?”

“Gimana kejadiannya? Cerita dong, Tem. Kamu kan, saksi matanya.”

Lemari biru geger lagi. Salah seorang warga kembali jadi korban. Belli. Ia ditemukan dalamkeadaan tersayat-sayat di kebun belakang.

Belli baru saja dijemur dan lupa diangkat oleh Bi Suti. Seluruh penghuni lemari biru sedih sekaligus takut. Penganiayaan itu ternyata berlanjut. Dan, mungkin belum berhenti sampai di sini.

“Waktu itu, aku sedang tidur-tidur ayam. Habis di lantai dua dingin , sih. Sesosok bayangan bayangan merenggut Belli dari tali jemuran dengan cepat. Aku tidak sempat melihat melihat wajahnya. Lagi pula, keadaan gelap. Lampu belum dinyalakan. Aku Cuma melihat kilatan cahaya keperakan, sepertinta pisau. Mungkin, alat itulah yang dipakai untuk menghabisi Belli,” Jins hitam itu menjelaskan apa yang ia tahu.

‘Wah …sepertinya situasi makin gawat. Nih? Bisa-bisa, kita jadi korban selanjutnya,” tegas Pinky.

“Sepertinya, kita perlu mencurigai Bi Suti. Jangan-jangan, dia sengaja tidak mengangkat Belli. Dia bersekongkol sama pembunuh Belli,” cerocos kemeja kotak-kotak kuning berlengan panjang.

Lalu, semua terdiam. Pernyataan Pinky mengusik alam pikiran pakaian-pakaian itu. Memang betul, bukannya tidak mungkinmereka jadi korban selanjutnya.

Jika ditarik benang merah, memang ada persamaan antara kasus Boni dan Belli. Dua-duanya adalah favorit Susan. Mereka juga sama-sama berjenis kaos. Belli berlengan, sedangkan Boni tidak. Satu hal lagi, Boni dan Belli kalau dipakai ngepas di badan. Inikah penyebab keduanya tewas? Entahlah!

”Heh, kalian tahu tidak? Selain kasus Boni dan Belli, masih ada kejadian menghebohkan lagi di rumah ini …,” sahut Vivi si You Can See.

“Apaan, tuh?”

“Itu ..akhir-akhir ini, banyak majalah, tabloid, dan Koran yang dicorat-coret. Tapi, bagian yang terkena coretan Cuma halaman yang memuat foto atau gambar perempuan seksi, atau berpakaian minim saja. Aneh tidak?”

”Aneh …ya, memang aneh, dan siapa tahu kejadian ini ada hubungannya dengan tragedi yang menimpa teman-teman kita,” sambung Nyet-nyet.

“Coretannya seperti apa, Vi?””Coretannya terdiri dari garis-garis horizontal yang hampir menutupi seluruh tubuh gambar perempuan tersebut. Hanya muka dan telapak tangan yang dibiarkan bersih.”

“Kok, bisa gitu, ya?” gumam Twingkel.

“O …ooo, aku tahu…,” Nyet-nyet berkagak bagai detektif yang sedang menyelidik.

“Tahu apa?” ujar yang lain.

“Musibah yang menimpa teman kita dan corat-coret gambar tersebut ada kesamaan, yaitu sama-sama menimpa perempuan.”

“Yeee …perempuan apaan? Kita kan, bukan manusia!”

“Eh …dengar dulu, main potong aja. Belli dan Boni itu baju perempuan, sedangkan yang dicorat-coret adalah gambar perempuan. Nah …sama,kan? Terus, persamaan yang kedua, Belli maupun Boni adalah pakaian yang bisa membuat pemakainya terlihat seksi, bahenol, etc, de-el-el, dan gambar yang dicoret juga foto perempuan aduhai.Jadi, kemungkinan pelaku dua masalah ini sama. Dia adalah orang yang tidak suka dengan keseksian. Maka, kita harus hati-hati. Aku bukan nakutin, lho! Setiap detik, kita bisa saja jadi mangsa beikutnya sebab hampir seluruh pakaian di lemari ini adalah pakaian seksi,” Nyet-nyet mengakhiri analisanya dengan senyum bangga.

Lalu, hening hadir sesaat, sebelum jerit pekik ketakutan bergema di seluruh lemari.

………………..***………………..

“Duh …, Susan mana, ya/?Kok, akhir-akhir ini dia jarang sekali berada di rumah?”

“Kamu tidak tahu ya, Pink? Sekarang ini, Susan sedang sibuk ikut audisi iklan sabun mandi.”

“ Iklan sabun mandi? Buka-bukaan, dong?”

“la …iya, la…hai. Jarang-jarang, iklan sabun tutup-tutupan, apalagi adegan mandinya,” tukas Twingkel mengomentari omongan Pinky.

Beberapa hari ini, kamar Susan memang sering gelap-gelapan. Paling cepat, baru pukul 21.00, penghuni kamar bisa menikmsti terang.

Warga lemari biru mempermasalahkan hal ini. Bahaya selalu menghantui mereka setiap saat. Sejak Nyet-nyet sok berhipotesa, mereka jadi waswas. Keamanan kurang terjamin saat ini.

Kreeek …

Pintu kamar terbuka pelan. Langkah-langkah halus menapaki lantai marmer.

Penghuni lemari biru curiga, langkah itu mendekati rumah mereka. Pintu terkuak. Dan …sret …sret …bret!

“Ah …Adauw …!”

“Tolooong …!!!”

“Aduh, …sakit, nek …”

“Auwww …!”

Seluruh pakaian panik. Tangan yang bersenjatakan gunting, membabat secara acak dan membabi buta. Pakaian-pakaian itu ditarik, dirobek, dan dirusak tanpa kasihan sedikit pun.

Pinky dan teman-temannya tidak bisa berbuat banyak. Mana bisa mereka melawan? Mereka hanya mengaduh, menjerit, dan menangis kesakitan.

“Huuu …uuu …badanku hancur!”

“Kejam! Kejam …!

“Siapa pun yang mendengar, tolooong …!”

Ctet!!!

Lampu menyala.

Susan masuk ke dalam kamar dan membuat ruangan terang benderang. Ia terkejut setengah mati.

“Hei Dita, apa yang kamu lakukan?” Susan terpana mendapati pakaiannya rusak berantakan. Ia menghampiri sepupunya itu.

Dita menatap Susan dengan sorot tajam. Gunting ukuran besar dihunuskannya ke arah Susan.

“Apa-apaan kamu, Dita?” Susan belingsatan.

Ditaterus berjalan menuju Susan. Sebuah kekuatan seolah menguasai gerak dan pikiran Dita. Cahaya lampu mengilaukan senjatanya.

“Hentikan, Dita! Hentikan!!!”

Dita tak peduli. Ia malah memamerkan seringai jahatnya.

“Mami …? Bi Suti …? Parto …?”

Sreeet …Dita mulai mengibaskan guntingnya. Susan melompat ke atas ranjang. Ia merapat ke sudut tembok.

Tubuh kecil Dita, ternyata lebih cekatan. Ia berhasil mencengkam gaun asimetris yang dikenakan Susan.

Susan ketakutan. Ia tak pernah berpikir kalau sepupu kecilnya ini bisa ganas luar biasa.

Dita mengangkat guntingnya tinggi-tinggi.

Brak! Di saat genting, pintu terbanting. Rupanya, Mang Udindan bi Suti. Dengan sigap, Mang Udin segera naik ke atas ranjang. Tukang kebun itu mencekal pergelangan tangan Dita yang memegang senjata.

“Bi, ambil tali. Bocah ini harus diikat. Cepat”

Bi Suti yang sejak masuk tadi melongo, gelagapan dan segera bergegas menuruti perintah Mang Udin.

Lima belas menit kemudian, suasana mulai tenang. Mang Udin, Bi Suti, dan Susan berhasil mengikat Dita. Kini, bocah itu tersedu-sedu. Mulut kecilnya bertutur diantara pilu.

“Huhuhu …uuuuuu …Dita benci! Dita benci pakaian-pakaian itu! Gara-gara mereka, Kak Rina disakiti orang! Kak Rina masuk rumah sakit …Huhuhu … uuuuuu….”

Susan menatap iba. Ia teringat Rina, kakak Dita yang sebaya dengannya. Gadis itu diperkosa segerombolan preman. Rina shock berat dan harus dirawat dirumah sakit.

Dita adalah saksi mata peristiwa itu. Ia nyaris menjadi korban.

Satu kebiasaan Rina yang sama dengan Susan, yaitu suka mengenakan busana minim, kurang bahan. Satu hal yang kini sangat dibenci Dita.

Ah, tapi bukan salah Rina juga, kan? Laki-lakinya aja yang mata keranjang, nggak bisa lihat yang seksidikit, main hantam aja, bisik hati Susan menolak pernyataan Dita.

Dari tumpukan pakaian yang sobek, Twingkel berkata lirih, “Bukan mau kami tercipta begini. Kami terlahir karena kreasi manusia dan karena keinginan untuk tampil cantik pada setiap mata. Andai bisa memilih, aku lebih senang menjadi pakaian panjang penutup badan Aku hanya sehelai kain pada mulanya. Manusialah yang mengubah kami. Jadi, jangan pernah menyalahkan kami,” Twingkel mengakhiri ucapannya, sekaligus kehidupannya. Baik-buruk selalu tersedia. Tinggal manusia memilih yang mana.

………………..SELESAI………………..

Karya : Koko Nata Kusuma

Dikutip dari : My Love( KUMPULAN CERITA ISLAMI)

Selasa, 06 Mei 2008 | By: Sang Pena Muda

13 Wajah Gerakan Syahwat Merdeka

Di dalam gelombang reformasi yang membawa perubahan politik sewindu yang lalu, sebuah arus besar digerakkan oleh kelompok permisif dan adiktif menumpang masuk ke tanah air kita. Arus besar itu, sesuai karakteristiknya, tepat disebut sebagai gerakan syahwat merdeka.
Tak ada sosok organisasi resminya, tapi jaringan kerja samanya mendunia, kapital raksasa mendanainya, ideologi gabungan melandasinya, dan banyak media massa jadi pengeras suaranya.
Ada tiga belas komponen dalam gerakan dengan seks sebagai jaringan pengikatnya ini:

PERTAMA adalah praktisi sehari-hari kehidupan pribadi dan kelompok dalam perilaku seks bebas hetero dan homo, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi dan sebagian anti-pernikahan resmi.

KEDUA, penerbit majalah dan tabloid mesum, yang telah menikmati tiada perlunya SIUPP. Mereka menjual wajah dan kulit perempuan muda, lalu menawarkan jasa hubungan kelamin pada pembaca pria dan wanita lewat nomor telepon genggam.

KETIGA, produser, penulis skrip, dan pengiklan acara televisi syahwat. Seks siswa dengan guru, ayah dengan anak, siswa dengan siswa, siswa dengan pria paruh baya, siswa dengan pekerja seks komersial --ditayangkan pada jam prime time, kalau pemainnya terkenal. Setiap tayangan televisi, rata-rata 170 juta orang yang memirsa.

KEEMPAT, 4,200,000 (empat koma dua juta) situs porno dunia, 100,000 (seratus ribu) situs porno Indonesia di internet. Dengan empat kali klik di komputer, anatomi tubuh perempuan dan laki-laki, sekaligus cara berfungsinya, dapat diakses gratis, sama mudahnya dilakukan baik dari San Francisco, Timbuktu, Rotterdam, maupun Sidoarjo.

KELIMA, penulis, penerbit, dan propagandis buku syahwat 1/4 sastra dan 1/2 sastra. Di Malaysia, penulis yang mencabul-cabulkan karyanya penulis pria. Di Indonesia, penulis yang asyik dengan wilayah selangkang dan sekitarnya mayoritas penulis perempuan. Ada kritikus sastra Malaysia berkata: "Wah, Pak Taufiq, pengarang wanita Indonesia berani-berani. Kok, mereka tidak malu, ya?" Memang begitulah, RASA MALU ITU YANG SUDAH TERKIKIS, bukan saja pada penulis-penulis perempuan aliran s.m.s. (sastra mazhab selangkang) itu, melainkan juga pada banyak bagian dari bangsa.

KEENAM, penerbit dan pengedar komik cabul. Komik yang kebanyakan terbitan Jepang yang diterjemahkan itu tampak di kulit luar biasa saja, tapi di dalamnya banyak gambar hubungan badannya, misalnya (bukan main) antara siswa dan Bu Guru. Harganya Rp 2.000.

KETUJUH, produsen, pengganda, pembajak, pengecer, dan penonton VCD/DVD biru. Indonesia kini jadi surga besar pornografi paling murah di dunia. Angka resmi produksi dan bajakan 2 juta-20 juta keping setahun. Harga yang dulu Rp 30.000 sekeping, kini turun menjadi Rp 3.000. Luar biasa murah. Anak-anak SMA, SMP, bahkan SD kita bisa membelinya tanpa risi karena tak ada larangan peraturan pemerintah. Sesudah menonton, mereka ingin mencobakannya, dan akhirnya bisa terlibat prostitusi dan/atau aborsi.

KEDELAPAN, pabrikan dan konsumen alkohol. Minuman keras dari berbagai merek dengan mudah bisa diperoleh di pasaran. Kemasan botol kecil diproduksi, mudah masuk kantong celana, harga murah, dijual di kios tukang rokok di depan sekolah, remaja dengan bebas bisa membelinya. Di Amerika dan Eropa, batas umur larangan di bawah 18 tahun.

KESEMBILAN, produsen, pengedar, dan pengguna narkoba. Tingkat keterlibatan Indonesia bukan pada pengedar dan pengguna saja, bahkan kini sampai pada derajat produsen dunia. Enam juta anak muda Indonesia terperangkap dan ratusan ribu menjadi korbannya.

KESEPULUH, pabrikan, pengiklan, dan pengisap nikotin. Korban racun nikotin 57.000 orang per tahun, maknanya setiap hari 156 orang mati, atau setiap sembilan menit seorang pecandu rokok meninggal. Pemasukan pajak Rp 15 trilyun (1996), tapi ongkos pengobatan berbagai penyakit akibatnya Rp 30 trilyun.

Mengapa alkohol, narkoba, dan nikotin termasuk dalam kategori kontributor arus syahwat merdeka ini? Karena sifat adiktifnya, kecanduannya, yang sangat mirip, begitu pula proses pembentukan ketiga adiksi tersebut dalam susunan saraf pusat manusia. Dalam masyarakat permisif, interaksi antara seks dan alkohol, narkoba dan nikotin, akrab sekali. Interaksi ini kemudian berlanjut dengan tindak kriminal berikutnya: pemerasan, perampokan, sampai ke titik puncaknya pembunuhan.

KESEBELAS, pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan. Dalam masyarakat permisif, iklan
semacam ini menjadi jembatan komunikasi yang diperlukan.

KEDUA BELAS, germo dan pelanggan prostitusi. Apabila hubungan syahwat suka-sama-suka yang gratis tidak tersedia, hubungan dalam bentuk perjanjian bayaran merupakan jalan keluarnya.
Dalam hal ini, prostitusi berfungsi.

KETIGA BELAS, dokter dan dukun praktisi aborsi. Akibat kombinasi berbagai faktor di atas, kasus pemerkosaan dan kehamilan di luar pernikahan meningkat drastis.

Seorang peneliti dari sebuah universitas di Jakarta menyebutkan bahwa angka aborsi di Indonesia 2,2 juta setahun. Maknanya setiap 15 detik seorang calon bayi di suatu tempat di negeri kita meninggal akibat dari salah satu atau gabungan faktor-faktor di atas. Inilah produk akhirnya.

Luar biasa destruksi sosial yang dilakukan Gerakan Syahwat Merdeka ini, yang ciri kolektifnya adalah budaya malu yang telah kikis nyaris habis dalam diri mereka.


Taufiq Ismail, Penyair, budayawan
[Perspektif, Gatra Nomor 7 Beredar Kamis, 28 Desember 2006]